sdsb jaman soeharto

Pelegalan Togel di Era Soeharto dengan Kebijakan SDSB

Pelegalan togel dan judi pada pemerintahan Soeharto cukup menyimpan kontroversi. Indonesia yang menganut nilai agama dan kesopanan ini tidak sejalan dengan togel dan judi jenis apapun. Namun ini tidak berlaku ketika muncul SDSB atau sumbangan dermawan sosial berhadiah. SDSB jaman Soeharto mendapat penolakan dan ada pula yang menerima

Kebijakan ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Kecaman soal pelegalan lotere ini juga muncul ditujukan pada pemerintah. Kelompok yang paling kontra tentu saja dari kalangan ulama.

Dengan berbagai kontroversi di baliknya, kebijakan ini berjalan cukup lama. Kebijakan SDSB jaman Soeharto berlaku dari 1985 sampai 1993. Peminat dari judi jenis ini cukup banyak hingga ke daerah pelosok. Meski muncul penolakan, masyarakat menerimanya sebagai hiburan dan kadang menguntungkan.

Bukan menjadi rahasia umum lagi jika kebijakan ini lahir atas campur tangan orang lain. Campur tangan ini berasal dari anak tertua Soeharto, yaitu Sigit Hardjojudanto.

Lalu sejauh apa kebijakan SDSB di Indonesia ini? Apakah masyarakat kemudian menjadi menerimanya sebagai hal baru?

Undian Berhadiah Sebelum Munculnya SDSB sebagai Pelegalan Judi Togel

Pemerintah Indonesia dalam menertibkan judi dan togel sudah dilakukan sejak lama. Dengan UU No 7 Tahun 1974, pelarangan togel dan judi sudah dibentuk. Pun di masa pemerintahan Soekarno yang sangat melarang segala jenis perjudian.

Tetapi sebelum itu, memasuki tahun 1960-an, yayasan rehabilitasi sosial dibentuk oleh pemerintah. Lembaga ini bertujuan untuk menangani masalah sosial. Dengan berbagai macam masalah yang ada, dana yang dibutuhkan menjadi sangat besar. SDSB di Indonesia kemudian kembali dijalankan.

Untuk menutupi kekurangan anggaran, maka pemerintah melalui lembaga ini mengeluarkan undian berhadiah. Undian ini bisa diikuti oleh siapa saja yang memenuhi syarat. Kegiatan ini diundi setiap satu bulan sekali.

Di tahun tersebut, angka yang menjadi undian terbilang besar, yaitu kisaran Rp 10.000 hingga Rp 500.000 per undian. Dengan hadiah yang lumayan besar ini, masyarakat banyak yang tergiur dan ikut berpartisipasi.

Di luar konteks undian resmi ini, kemudian muncul judi ilegal. Judi ini bernama ‘Lotere Buntut’. Disebut demikian karena cara bermainnya adalah menebak dua angka bagian belakang undian milik yayasan rehabilitasi sosial.

Meskipun terbilang ilegal, judi ini banyak diminati hingga ke kalangan bawah di daerah pelosok. Judi ini banyak menyasar pada kelompok buruh, petani, atau pedagang kecil. Permainan yang mudah dan hadiah yang berkisar dari Rp 60.000 hingga Rp 80.000 membuat peminatnya semakin kecanduan.

Melalui Keppres No.113 Tahun 1965 yang dikeluarkan oleh Soekarno, segala jenis judi dilarang karena merusak moral. Kemudian undian berhadiah yang diadakan yayasan rehabilitasi sosial dan lotere buntut dihentikan.

SDSB sebagai Pelegalan Judi yang Masif

Pemberhentian undian berhadiah yang dilakukan oleh Soekarno sebelumnya tidak sepenuhnya berhenti. Masyarakat masih diam-diam melakukan taruhan dan bermain judi. Bahkan, pemerintah di masa Soeharto memfasilitasi kegiatan ini.

Di tahun 1978, lembaga rehabilitasi sosial berganti nama menjadi Badan Usaha Undian Harapan. Badan ini memiliki program bernama Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah atau SDSB. Kemudian badan ini dinaungi departemen sosial secara resmi. SDSB diresmikan oleh Soeharto sehingga mencatat sejarah pemerintahan jaman orde baru.

Sebelum pemberlakuan SDSB, judi lain sudah muncul. Sebelumnya pelegalan judi ini seputar pada pertandingan bola atau olahraga. Di masa kemunculan togel ini, namanya adalah porkas.

Karena beberapa alasan, porkas kemudian diganti namanya. Yang pertama adalah SOB atau sumbangan olahraga berhadiah. Kemudian berganti lagi menjadi TSSB atau tanda sumbangan sosial berhadiah.

Setelah beberapa kali mengalami pergantian, kemudian beralih menjadi SDSB atau sumbangan dermawan sosial berhadiah ini. Meskipun namanya berganti-ganti, inti permainannya adalah sama, yaitu menebak hasil pertandingan olahraga.

SDSB di Indonesia dianggap legal dan boleh dimainkan secara terang-terangan. Sehingga tidak ada razia judi yang dilakukan untuk program ini. Pemerintah memiliki program untuk mengumpulkan dana masyarakat yang berpartisipasi.

Kupon yang diterbitkan memiliki 2 seri, yaitu seri A dan seri B. Seri A memiliki nilai Rp 5000 dan seri B bernilai Rp 1000. Kupon ini bahkan dicetak sebanyak 30 juta lembar untuk memenuhi permintaan. Seri A dicetak sebanyak 1 juta lembar dan 29 juta kupon untuk seri B.

Alasan lebih banyak dicetak untuk seri B adalah lebih banyak kelompok menengah ke bawah yang bermain. Sehingga dengan harga yang murah, mereka memilik seri B. Tentu saja peminatnya sangat banyak.

Hadiah yang ditawarkan bisa mencapai Rp 1 miliar untuk seri A dan Rp 3.6 juta bagi seri B. Dengan jumlah iming-iming ini, maka berbondong-bondonglah masyarakat ikut bermain SDSB di jaman Soeharto ini.

Pro dan Kontra Kebijakan Pelegalan Judi dalam SDSB di Indonesia

Pelegalan judi di masa pemerintahan saat itu yang dituangkan dalam SDSB tentu menimbulkan polemik. Banyak pihak yang menentang adanya program ini. Meski masyarakat, khususnya yang miskin sangat menyukainya, tetapi banyak pihak yang menginginkan agar SDSB dihentikan.

Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan nilai-nilai yang tertanam pada masyarakat. Judi merupakan hal yang dilarang. Sedangkan SDSB merupakan judi terselubung yang difasilitasi negara.

Baca juga: Polemik Kebijakan Pelegalan Judi Indonesia dari Masa ke Masa

Beberapa gelombang aksi dari kelompok muslim muncul sebagai bentuk protes SDSB di Indonesia. Awalnya gerakan ini muncul di Yogyakarta, kemudian menyebar ke berbagai kota. Semakin banyak pihak yang memprotes kemudian membuat SDSB dihentikan.