Pelegalan judi di beberapa negara sudah banyak dilakukan. Tetapi pelegalan judi di Indonesia masih dilarang. Meski demikian, pada masa pemerintahan Soeharto, izin bermain judi dibolehkan melalui porkas.
Porkas adalah pekan olahraga dan ketangkasan. Kegiatan ini adalah ajang pertandingan olahraga yang digemari masyarakat, khususnya cabang olahraga sepak bola. Dengan antusiasme yang tinggi, muncullah ide untuk memberikan sistem judi di dalamnya.
Bagi banyak orang tentu saja hal ini menjadi tanda tanya. Bagaimana kemudian judi semacam togel dan undian ini bisa berlangsung di Indonesia. Padahal mayoritas rakyatnya beragama Islam yang menentang segala jenis judi.
Awal Mula Munculnya Porkas dalam Pelegalan Judi Terselubung
Minat masyarakat pada pertandingan yang digelar secara besar-besaran ini memperlihatkan peluang keuntungan. Tentu saja keuntungan untuk pemerintah. Soeharto kemudian meminta menteri sosial saat itu, Mintaredja, untuk melakukan riset.
Riset ini dilakukan di Inggris mengenai sistem undian berhadiah. Riset ini bahkan berlangsung selama dua tahun untuk mendalami sistemnya. Pemerintah berupaya untuk menciptakan sistem undian yang tidak memperlihatkan judi secara terang-terangan.
Riset yang cukup panjang dengan belajar dari sistem dari Managing National Lottery Distribution Fund Balances ini membuahkan hasil. Berdasarkan pertimbangan dari kejaksaan agung, departemen sosial, hingga badan koordinasi intelejen negara (BAKIN), porkas disetujui. Di tahun 1985, porkas diresmikan dan legal secara hukum.
Bahkan keberadaannya didukung dengan undang-undang no 2 tahun 1954 tentang undian. Program ini semakin diperkuat dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Sosial No. BSS-10-12/85. SK ini keluar pada tanggal 10 Desember 1985.
Klaim yang diberikan oleh pemerintah adalah bahwa porkas tidak sama dengan judi. Jika dalam judi biasanya menebak angka, dalam porkas hanya menebak menang-seri-kalah. Argumen ini tentu saja bersifat bias karena bagaimanapun sistemnya sama dengan judi.
Di awal kemunculannya, masyarakat sangat tertarik. Jika undian berhadiah yang sebelumnya pernah berlaku menjangkau hingga ke desa, maka berbeda dengan porkas. Porkas hanya menjangkau wilayah kabupaten saja.
Pada tahun 1987, porkas berganti nama menjadi kupon sumbangan olahraga berhadiah (KSOB). Alasan namanya diganti adalah agar lebih realistis dan menghindari istilah perjudian.
Beberapa catatan sejarah menjelaskan bahwa TSBB atau Tanda Sosial Sumbangan Berhadiah dan KSOB memperoleh keuntungan hingga Rp 926.4 miliar. Dana ini kemudian didistribusikan kepada hadiah, honor bagi penjual kupon, dan sisanya untuk kepentingan sosial dan olahraga.
Kupon porkas memiliki 14 kolom di dalamnya. Undiannya dilakukan selama seminggu sekali. Tentu saja setelah pertandingan sepak bola oleh ke-14 tim yang bertanding. Pembagian hadiah yang dilakukan adalah 50 persen untuk penyelenggara. 30 persen untuk pemerintah, dan 20 sisanya untuk penebak.
Pelegalan judi porkas ini memperlihatkan antusiasme yang tinggi dari masyarakat untuk berpartisipasi.
Penyelewengan dalam Porkas
Sistematika yang digunakan dalam menjual kupon porkas adalah melalui sistem loket. Sistem ini dinilai lebih aman dan mudah untuk diawasi. Kontrol oleh pemerintah juga selalu dilakukan mengingat program ini adalah program resmi dari negara.
Sebelumnya, kupon porkas belum diedarkan lewat loket. Penjualannya hanya melalui agen. Kemudian menteri sosial saat ini memberikan instruksi agar pembelian kupon dilakukan secara integratif dalam satu loket.
Bagi agen dan distributor yang melakukan penyelewengan akan dihukum. Hukuman ini tentu sebagai upaya agar pelaksanaan porkas sesuai dengan tujuan awalnya.
Polemik di Balik Pelegalan Judi Porkas
Porkas tentu saja mendapat tanggapan beragam. Munculnya pendapat yang kontra tentu saja tak bisa dihindari. Meskipun pemerintah sudah mengklaim bahwa porkas bukahlah judi, tetapi sistemnya yang tidak berbeda jauh dari judi membuatnya penuh polemik.
Pihak yang paling menolak adanya porkas tentu saja MUI. MUI bahkan mengirimkan surat untuk pemerintah agar porkas dievaluasi karena nilainya yang sarat dengan judi. Kerusakan moral dan mental bagi remaja dan masyarakat juga dianggap sebagai dampak porkas menurut ketua DPRD Jawa Timur.
Pengamat ekonomi kala itu juga menilai bahwa porkas justru tidak baik bagi segi ekonomi masyarakat. Banyaknya protes untuk program porkas yang dianggap sebagai pelegalan judi ini kemudian membuat pemerintah bersikap.
Di tahun 1987, porkas resmi berganti nama menjadi kupon sumbangan olahraga berhadiah (KSOB). Kupon dijual dengan harga Rp 600 per lembar dan tawaran hadiah tertingginya Rp 8 juta.
Meski namanya lebih diterima oleh masyarakat, tetapi sistem yang digunakan justru semakin menunjukan sistem judi. Jika porkas hanya menebak menang-seri-kalah, maka KSOB disertai dengan tebakan skor pertandingan.
Lambat laun, aksi protes kembali bergema. Di tahun 1988, beberapa anggota partai politik saat itu memprotes pemerintah. KSOB dinilai negatif karena membuat perekonomian tidak jelas, khususnya di pedesaan. Tentu saja ini karena dana masyarakat yang tersedot ke kupon ini.
Baca juga: Polemik Kebijakan Pelegalan Judi Indonesia dari Masa ke Masa
Dana porkas atau KSOB ini sangatlah banyak hingga lebih dari Rp 200 milyar. Dana ini digunakan untuk pembinaan atlet dan diserahkan ke KONI.
Memasuki tahun 1993, aksi protes semakin banyak dilakukan sehingga pemerintah harus mempertimbangkan kembali. Setelah berbagai demonstrasi dilakukan, pada 24 November 1993, kupon Porkas atau KSOB dihentikan dari peredaran masyarakat.